Friday 30 November 2012

Salawat Kamilah (Tafrijiyyah Nariyah Qurthubiyah)

Other Entries For Salawat/ Selawat:
1. Salawat Tafrijiyyah (Nariyah) Qurthubiyah
2. Salawat Al Ghiyaasah ( الغيا ثة )
3. Salawat Kamilah (Tafrijiyyah Nariyah Qurthubiyah)





I re-post, with improved image version for Salawat Tafrijiyyah Nariyah Al-Qurtubiyah





Shalawat tersebut popular dengan nama Shalawat Tafrijiyah. 

Asy-Syaikh Al-'Arif Muhammad Haqqi Afandi An-Nazili menyebutkan shalawat ini dan keterangannya dalam kitabnya, Khazimah al-Asrar. Disebutkan pula penjelasan Imam Al-Qurthubi, barang siapa merutinkan shalawat ini setiap hari sebanyak 41 kali atau 100 kali atau lebih, Allah akan melepaskan kesusahannya, menghilangkan penderitaannya, memudahkan urusannya, menyinari hatinya, meninggikan kedudukannya, membaguskan keadaannya, meluaskan rezekinya, membukakan pintu-pintu kebaikan dengan tambahannya, membuat ucapannya diterima dikalangan pemimpin, memberinya keamanan dari berbagai peristiwa yang buruk, dari kelaparan, dan dari kefakiran, memasukkan perasaan cinta (suka) di hati orang-orang terhadapnya, dan apa saja yang dimintannya kepada Allah akan diberi oleh-Nya. 



Tetapi semua ini tak dapat tercapai kecuali jika syaratnya dipenuhi, yakni membacanya secara rutin.


--------------------------------------------------------------------------


Mengungkap Mutiara Hikmah Dibalik Shalawat Nariyah


Oleh: K.H. Zainul Mu’ien Husni. Lc



Ummat Muslim di berbagai belahan Dunia Islam mengenal banyak sekali teks shalawat. Menurut Sayyed Muhammad Haqqi al-Nazili dalam Khazinat al-Asrar Jalilat al-Adzkar, teks-teks shalawat yang beredar di kalangan Ummat Muslim di dunia mencapai tidak kurang dari 4.000 teks. Bahkan, menurutnya pula, ada yang memperkirakan tidak kurang dari 12.000 teks. Ini sungguh angka yang fantastis.
Di Indonesia ada beberapa teks shalawat yang dikenal sangat luas, yaitu Shalawat Ibrahimiyah, Shalawat Nariayh, Shalawat al-Fatih, Shalawat al-Anwar, Shalawat Kamaliyah dan masih banya lagi lainnya. Di antara semua itu Shalawat Nariyah adalah yang paling popular dan merakyat, khususnya di kalangan Nahdliyyin.
Nama-nama Shalawat Nariyah
Sayyed Al-Naziliy dalam Khazinat al-Asrar Jalilat al-Adzkar menyebut shalawat ini dengan nama Shala-wat al-Tafrijiyah al-Qurtubiyah.
Kata Al-Tafrijiyah menunjuk pada kata tafrij yang berarti melonggarkan. Yang dimaksudkan adalah melonggarkan himpitan kesusahan. Hal ini karena shalawat ini terbukti sangat efektif (mujarab) mengatasi berbagai kesulitan hidup.  Sedang kata Al-Qurtubiyah menunjuk pada penyusun shalawat ini, yaitu Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Anshari al-Andalusi al-Qurtubi, pakar ilmu tafsir kenamaan yang di Indonesia populer dengan nama Imam Qurtubi, penulis kitab tafsir monumental dengan nama Al-Jami’ li-Ahkam al -Qur’an.
Tetapi Sayyed Muhammad bin Alawi al-Malikiy dalam Al-Majmu’ah al-Mubarakah menyebutnya Shalawat al-Taziyah. Nama al-Taziyah, menurutnya, nisbat pada Syaikh Abd al-Wahhab al-Taziy. Jika nisbat ini benar adanya, maka sebutan Nariyah itu agaknya merupakan tas-hif (plesetan dalam penulisan) dari Taziyyah, sebab aksara-aksaranya dalam tulisan Arab memang mirip dan perbedaan hanya dalam beberapa titik saja.
Namun demikian nama Nariyah adalah yang paling popular di antara nama-nama shalawat ini.
Kata Nar dalam bahasa Arab berarti api. Tentang mengapa dinamakan Nariyah, Sayyed Al-Naziliy menjelaskan sebagai beri-kut:
Penduduk negeri Maghrib menyebut shalawat ini Shalawat Nariyah karena kebiasaan mereka apabila ada sesuatu yang mereka inginkan atau ada permasalahan yang sulit mereka tanggulangi mereka lantas berkumpul di suatu tempat dan membacanya bersama-sama sebanyak 4.444 (empat ribu empat ratus empat em-pat puluh empat) kali dan ternyata mereka merasakan permohonan mereka terkabul dengan mudah dan cepat secepat kilatan api.
Karena kemujaraban shalawat ini ka-langan Sufi menjulukinya Miftah al-Kanz al-Muhit Linayli Murad al-‘Abid, artinya Kunci Gudang yang Luas untuk Terkabulnya Kei-nginan Manusia.
Di negeri kita tak jarang orang me-nyebutnya Shalawat Nuriyah. Penamaan ini tentu tidak sepenuhnya keliru. Toch, kata Nur dalam bahasa Arab berarti cahaya. Jadi, ti-daklah salah kiranya untuk dikatakan bahwa Nuriyah adalah nisbat pada Nur.
Sungguh pun demikian Penulis men-duga kuat bahwa penamaan tersebut agaknya lebih merupakan tas-hif dari Nariyah, apalagi sebutan tersebut kerap terdengar dari kalangan awam.
Kandungan Shalawat Nariyah
Seperti umumnya shalawat, kandungan Sha-lawat Nariyah berkisar pada dua hal, per-tama, shalawat dan salam untuk Nabi Mu-hammad saw dan, kedua, tawassul kepada Allah untuk terkabulnya beberapa keinginan dan keselamatan dari hal-hal yang tidak dii-nginkan. Hanya saja, berbeda dengan sha-lawat lain pada umumnya,  permohonan da-lam shalawat ini tidak dikemukakan secara eksplisit dalam bentuk doa, melainkan hanya memohon shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad yang dengan beliau:
-          semua belenggu menjadi lepas (tan-hallu bihi al-uqad)
-          semua kesusahan menjadi sirna (tan-fariju bihi al-kurab)
-          semua hajat terpenuhi (tuqdla bihi al-hawaij)
-          semua keinginan dan kebaikan dalam pungkasan dapat diraih (tunalu bihi al-raghaib wa husnul khawatim)
-          awan dapat diharapkan menurunkan hujan (yustasqa al-ghamamu biwajhihi al-karim)
Bandingkan dengan Shalawat Mun-jiyat, misalnya, yang permohonannya dike-mukakan secara vulgar sebagai berikut:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ اْلأهْوَالِ وَالآفَاتِ ، وَتَقْضِيْ لَنَا بِهَا جَمِيْعَ الحَاجَاتِ ، وَتُطَهِّرُناَ بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ ، وَتَرْفَعُناَ بِهَا عِنْدَكَ أعْلىَ الدَّرَجَاتِ ، وَتُبَلِّغُناَ بِهَا أَقْصَى الغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الخَيْرَاتِ فِي الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ
Ya Allah, berikanlah kepada Nabi Mu-hammad shalawat yang dengan shalawat itu Engkau selamatkan kami dari mara bahaya dan penyakit, Engkau kabulkan semua hajat kami, Engkau sucikan kami dari semua keburukan, Engkau angkat kami ke derajat yang setinggi-tingginya di sisi-Mu dan Engkau sampaikan kami ke tujuan yang paling jauh dari semua kebajikan dalam hidup dan sesudah kematian.
* Eva Talya Redd Rohim's notes
peng-istilahan 'vulgar' di sini ber-erti tamsilan 'kurang sopan' berselawat tapi seolah-olah menyuruh, memerintah, atau memaksa Tuhan dengan segala macam karenah, permintaan itu-ini sehingga hilang 'malu' dan sifat-sifat kehambaan. Banyak songeh dalam meminta-minta.



Penyebutan kelima keistimewaan Nabi itu tanpa menyebutkan secara vulgar hal-hal yang dimohon kepada Allah agaknya merupakan ciri khas Shalawat Nariyah dan justru di situlah sebenarnya terkandung permohonan dengan uslub (style) yang mengandung nilai kesusastraan yang tinggi. Sebab, dengan bershalawat untuk Nabi yang dengan beliau semua belenggu menjadi lepas sebenarnya kita memohon dengan perantaraan beliau agar Allah berkenan melepaskan diri kita dari berbagai belenggu kehidupan. Ketika kita bershalawat untuk Nabi yang dengan beliau semua hajat terpenuhi sebenarnya kita memohon dengan perantaraan beliau agar Allah memenuhi hajat kita… dan begitu seterusnya.
Ini sama halnya dengan berdzikir dengan Asma al-Husna seperti: Ya Rahman, ya Rahim, ya Razzaq… (Wahai Tuhan Yang Maha Rahman, Wahai Tuhan Yang Maha Rahim, wahai Tuhan Sang Pemberi rezeki…) dst. Dengan menyebut nama-nama agung tersebut sebenarnya kita memohon secara tidak langsung dengan perantaraan nama-nama-Nya agar Dia berkenan memberi rahmat, mengasihi dan memberi kita rezeki. Inilah salah satu aspek penting dalam Shalawat Nariyah.
Aspek lain yang tak kalah penting, bahkan lebih penting dari yang disebut sebelumnya, sebagaimana dikatakan oleh Sayyed Al-Naziliy, adalah bahwa tawassul dalam shalawat ini bukan lagi dengan shalawat, melainkan dengan dzat Nabi Mu-hammad itu sendiri. Lihatlah kata ganti na-ma (dhamir“hi” dalam kata “bihi”dan “biwajhihi” yang berbentuk spesifik laki-laki (mudzakkar) dan yang tidak bisa lain menun-juk kepada Nabi Muhammad saw. Dhamir “hi” ini terulang sampai tujuh kali, sehingga kalau ditambah dengan satu kali penyebutan nama terang Muhammad, maka berarti penyebutan nama tersebut dalam shalawat ini terulang delapan kali. Ini sungguh luar biasa. Bandingkan dengan shalawat-shalawat lain yang umumnya menggunakan kata “biha” yang kembali kepada shalawat.
Memang ketika Penulis konfirmasikan soal bihi dan biha ini kepada Hadratus-syaikh KH. Ahmad Sufyan Miftahul-Arifin, Rois Syuriyah PC-NU Situbondo, beliau tersenyum dan menyangkal dengan lembut. “Sama saja, nak,” katanya dalam bahasa Madura yang kental. “Lha wong bershalawat juga perintah Allah kok. Jadi, apakah dhamirnya kembali kepada shalawat atau kepada Nabi Muhammad ya sama saja,” lanjutnya.
Namun demikian tetap saja dhamir hi ini, menurut hemat Penulis, merupakan sesuatu yang sangat spesifik dari Shalawat Nariyah, wallahu a’lam.

Khasiat Shalawat Nariyah
Seorang laki-laki tampak mencibir saat men-dengar seorang kyai di sebuah forum pengajian berbicara tentang khasiat shalawat dan, secara khusus, Shalawat Nariyah. “Membaca shalawat kok yang dicari cuma khasiatnya. Apa itu tidak merendahkan martabat shalawat?” komentarnya sinis.
Tetapi berbicara tentang khasiat shalawat bukanlah bid’ah dalam agama. Toch, Rasulullah dalam banyak haditsnya juga berbicara tentang khasiat shalawat. Simaklah sebagai contoh penuturan Jabir ibn Abdillah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang-siapa yang membaca shalawat untukku 100 kali dalam sehari, maka Allah akan merea-lisasikan 100 hajatnya, 70 di antaranya di akhirat dan 30 di dunia.”
Jika demikian halnya, maka tidaklah berlebihan jika para ulama melalui pengem-baraan spiritual mereka kemudian menemukan lebih banyak lagi khasiat shalawat dan khasiat jenis-jenis shalawat ter-tentu. Temuan-temuan mereka itu lantas mereka himpun menjadi beberapa kitab yang menguraikan secara khusus khasiat-khasiat shalawat, antara lain kitab Sa’adat al-Da-rayn fi al-Shalati ‘ala Sayyid al-Kaunayn.
Berikut ini adalah khasiat Shalawat Nariyah sebagaimana dipaparkan oleh Al-Naziliy dalam Khazinat al-Asrar. Barangsiapa yang membaca shalawat ini secaraajeg (istiqamah) 11 kali setiap hari, maka seakan-akan rezekinya turun dengan deras dari langit dan tumbuh dari bumi (dari penuturan Syaikh Muhammad al-Tunusiy).
  1. Jika dibaca 11 kali setiap usai shalat fardhu, maka rezekinya tidak akan putus-putus dan perjalanan karirnya akan terus menanjak secara konsisten (dari penuturan Imam Al-Daynuri).
  2. Jika dibaca 41 kali setiap usai shalat Subuh, maka semua hajatnya akan terkabul.
  3. Jika dibaca 100 kali setiap hari, maka dia akan memperoleh apa yang dii-nginkannya lebih dari yang diangan-kannya.
  4. Jika dibaca dengan bilangan sebanyak para utusan, yaitu 313 kali, maka tabir rahasia kehidupan akan tersingkap baginya dan ia dapat melihat apa saja yang diinginkannya.
  5.  Jika dibca 1000 kali setiap hari maka dia akan memperoleh anugerah luar biasa yang tidak pernah dibayangkan atau dirasakannya selama ini.
  6. Berkata Imam al-Qurtubi: Barangsiapa yang mempunyai hajat yang sangat penting atau terlilit satu persoalan yang sangat pelik, lalu membaca sha-lawat ini 4.444 kali dengan maksud bertawassul dengannya kepada Allah swt, maka apa yang dikehendakinya akan dikabulkan oleh Allah. Pernya-taan senada dikemukakan pula oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, pakar Ilmu Hadits penyusun kitab Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari yang terke-nal itu.
Itulah catatan para ulama tentang khasiat shalawat ini yang mereka himpun dari pengalaman (tajribah) spiritual mereka. Tentu idealnya mengamalkan shalawat itu tanpa maksud apa-apa selain ibadah dan pendekatan diri kepada Allah serta mengharap syafaat Nabi Muhammad saw. Tetapi juga tidak bisa disalahkan jika sese-orang mengamalkannya untuk memperoleh khasiat tertentu. Toch, Nabi sendiri berbicara tentang khasiat. Kecuali itu Islam sendiri sangat apresiatif terhadap ragam tingkat spiritualitas dan perbedaan orientasi umat-nya. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
ثُمَّ أَوْرَثْناَ اْلكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْناَ مِنْ عِباَدِناَ  فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ .
Kemudian Kami wariskan Al-Kitab kepada orang-orang yang telah Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Maka di antara mereka ada yang zalim terhadap dirinya sendiri, ada yang sedang-sedang saja, dan ada yang berlomba-lomba dalam kebaikan dengan izin Allah.
    Credits: PC NU SITUBONDO

Tuesday 27 November 2012

Mengenal Ruh ( Takrif Rohani )


FEEL FREE TO CLICK ON RELATED POST





Takrif Rohani kepada Ahli Syariat
 :-
Rohani itu adalah berhimpun tujuh perkara :-
1.       Hati
2.       Niat
3.       Ikhlas
4.       Ilmu
5.       Cita-cita
6.       Tasdiq
7.       Mahgrifat

      Ahli Syariat berpendapat yang dinamakan Rohani itu adalah didalam tubuhnya berpandukan martabat Firman,”Tiap2 yang bernyawa itu mati”, maka yang bernama Rohani itu keluarlah daripada jasadnya.

Takrif Rohani kepada Ahli Tarikat:-
      Ahli Tarikat berpendapat yang bernama Rohani itu ialah nyawa yang keluar masuk melalui dua lubang hidungnya berpandukan martabat Firman,”Tiap2 yang bernyawa itu mati”, maka yang bernama Rohani itu keluarlah daripada jasadnya.

Takrif Rohani kepada Ahli Hakikat:-
      Ahli Hakikat berpendapat yang dinamakan Rohani itu ialah Sifat Fardhu, maka dinamakan Fardhu Ma’ani.  Fardhu Ma’ani itu:-
1.       Haiyun (hidup)
2.       Ilmu (tahu)
3.       Kudrat (kuasa)
4.       Iradat (berkehendak)
5.       Samaq (dengar)
6.       Basar (lihat)
7.       Kalam (berkata-kata)

Maka Rohani itulah nyawa pada orang2 yang Mukmin dan tubuh pada Rohani itulah dinamakan Jasmani. Diri kita diakhirat itulah Rohani dan Jasmani. Rohani itulah yang bernama Muhammad. Erti Rohani itu perbendaharaan dalam tempat kecintaan Tuhan. Jadilah Rohani itu dengan kajian ilmu yang bernama Ilmu Rohani. Barangsiapa mengenal Rohnya, maka bergembiralah ia diakhirat. Sebaliknya barangsiapa yang tiada mengenal Rohnya, maka dukacitalah ia diakhirat.

Takrif Rohani kepada Ahli Ma'arifat:-
Ahli Ma'arifat berpendapat bahawa Rohani itu adalah satu Mufrad Nurani. Rohani itu ialah Afa’al Muhammad, maka nyawa Rohani itu bernama Roh Idofi dan Rohani itu dikehendaki menjadi hati kepada orang2 Mukmin kerana segala pekerjaan dunia ini adalah dengan Rohani. Rohani itulah hati yang dinamakan Latifatul Kalb. Bayang2 Rohani itu dinamakan Jasmani.

Maka hendaklah seseorang itu mengingati Rohaninya setiap hari. Orang2 yang tidak berdamping dengan Rohaninya belumlah sempurna darjatnya dengan Insan Kamil Wa Kamil. Dalam al-Quran mengatakan:-
“Senanglah Roh2 yang telah beramal soleh masa hidupnya. Azablah Roh2 yang telah membuat maksiat dalam hidupnya”.
Rugilah mereka yang tidak mengenal  nyawanya (Rohani). Beruntunglah mereka yang mengenal nyawanya (Rohani). Maka untuk mengetahui lebih lanjut berkenaan dengan Rohani iaitu hati kita yang beriman kepada Allah dan diri kita diakhirat, pelajarilah ilmu Rohani untuk keselamatan dunia dan akhirat.

Hadith mengatakan,” Barangsiapa derhaka kepada guru (Mursyid) adalah jadi kafir. Hanya Imam Abu Hassan Basri bila muridnya yang benar Wasil yang derhaka kepadanya hanya dinamakannya MUKTAZILLAH sahaja. 

Maka dari Wasil itulah pengasas mazhab MUKTAZILLAH sedunia. Memang peristiwa murid yang mempelajari ilmu ma'arifat ada yang derhaka kepada gurunya yang mursyid dalam tiap2 masa dan zaman. Oleh kerana demikian jarang2 Arifin Billah yang mahu mengajar pada semua orang tentang ilmu ma'arifat..

Sebagaimana yang difahamkan oleh ahli Rohaniah bahawa semua nyawa yang ada dalam alam ini adalah daripada terpancarnya Rohul Qudus, yang memakai Sifat Jalal dan Jamal yang tidak ada kepadanya ialah sifat2 Kamal dan Kahar. Daripada Rohul Qudus itula terbit amalan yang dinamakan oleh ahli Sufi:-

  1. SYUHUDUL KASRAH FIL WAHDAH
  2. SYUHUDUL WAHDAH FIL KASRAH

Hanya mereka yang tahu Syuhud yang dua itu sahaja yang beroleh sembahyang Daiem yang dikatakan sebenar-benar beramal soleh. Orang2 yang tidak mempelajari ilmu Tasauf dari guru yang mursyid walaupun ia pandai dalam ilmu Usulludin, tetapi pada hakikatnya tetap tidak akan kenal akan nyawanya yang sebenar dan tubuhnya tetap sebagai orang2 awam juga. Dengan itu maka jadilah:-

  1. Takkan sama ilmu seorang Nabi dengan Rasulullah SAW
  2. Takkan sama ilmu seorang Sufi dengan Nabi2
  3. Takkan sama ilmu orang2 Syariat dengan orang2 Sufi
  4. Takkan sama ilmu orang2 awam dengan orang2 Rohaniah
  5. Takkan sama ilmu orang2 yang membaca kitab2 tanpa guru dengan orang2 yang berguru. ( Orang2 yang membaca kitab2 tanpa guru adalah syaitan gurunya )

Oleh itu menjadi syarat pada orang2 yang ingin mempelajari ilmu yang delapan (salah satunya ialah ilmu Tasawwuf)  berhati-hati jangan berguru dengan guru yang derhaka kepada gurunya. Kesesatan yang banyak berlaku pada mereka yang mempelajari Ilmu Batin kerana berguru pada guru2 yang berasal gurunya derhaka kepada gurunya, maka faham yang demikian rupalah yang tidak mengambil berat akan perintah syariat dengan alasan mengetahui Daiem padahal Daiem yang tidak benar.

  • Tidak ada Nabi2 yang meninggalkan Syariat
  • Tidak ada Wali2 Allah yang meninggalkan Syariat kecuali apabila ia Majzub, Wujdan dan Fana Kamil
  • Tidak ada ugama yang tidak sembahyang

Maka sembahyang yang diredhai dan diterima Tuhan ialah sembahyang yang datangnya dari ajaran Rasulullah SAW tanpa tambah dan kurang dan tanpa alih bahasa, ia tetap dalam konteks bahasa Arab. 

Perbezaannya tak akan sama sembahyang seorang ahli taqwa dengan seorang awam walaupun bacaannya sama kerana sembahyang itu berkehendakan:-

  1. Tubuhnya sembahyang
  2. Hatinya sembahyang
  3. Jiwanya sembahyang
  4. Nyawanya sembahyang
  5. Rahsia (sirr) nya pun sembahyang

Maka semuanya diatas bersatu menyembah Tuhan yang Maha Esa. Jika satu sama lain tidak bersatu dalam satu gus maka jadilah pura2 namanya. Maka roh2 yang tersebut terpaksa sembahyang bersama-sama tubuhnya itu.

+Credits : ITC Batch 6

TAJALLI ALAH


Tajali  
Mengenai tajali Allah,  bisa saja kepada siapa saja. terutama pada rasul-rasul, nabi-nabi, dan wali-wali-Nya. atau kepada siapapun yang dikehendakiNya. Apabila Allah bertajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka tangan, kaki, mata, telinga, hati, dan seluruhnya yang ada diri si hamba adalah tangan dan kaki Allah swt. Banyak hadis yang menerangkan perkara  ini.
Penyaksian terhadap tajalli-nya Tuhan di dunia, menurut pendapat kalangan sufi, bisa saja terjadi. Tetapi bukan dengan mata kepala, melainkan mata hati yang memperolehi  Nur Mukasyafah. Dalam hal ini, yang perlu dicatat adalah penglihatan yang dimaksudkan, bukan melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warna dari Dzat Tuhan), yang diistilahkan “bi ghairi kaifin wa hashrin wa dlarbin min mitsalin”. Tetapi pandangan syuhud (mata hati).
Dalam pandangan sufisme Jawa, yang diserap dari ajaran para Wali, sangat kental keyakinan bahwa Tuhan bertajalli kepada hamba-Nya yang dikehendakiNya. Karena itu,  disusunlah sebuah doa yang amat ampuh. Doa itu dibaca saat menjalankan tafakur. Pada zaman Panembahan Senopati Mataram, doa ini diajarkan untuk menjalankan lelaku. Dalam babad tercatat doa tajalli itu sebagai berikut:
Dalam berdo’a kepada Allah, kita boleh memakai bahasa apa saja yang dapat kita mengerti dan pahami karena Allah Maha Tahu bahasa makhluknya apa yang di langit dan di bumi, kecuali dalam shalat kita wajib memakai bahasa Arab. Hal ini tidak terlepas dari hadits Nabi SAW :“Shalatlah seperti engkau melihat shalatku”.
Jalan Tajalli
Untuk mencapai Tajalli, diperlukan  ketekunan.   Bukan hanya itu, jalan yang harus dilaluinya beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan, lapar dan dahaga, yang diistilahkan jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Teori lain mengistilahkan Takhali, Tahalli, berjalan terus sampai pada Tajalli.
Takhalli adalah pengosongan dari sifat-sifat tercela, kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yang disebut Tahalli. Pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya hanya semata-mata ‘dzikrullah’ (melihat yang diingat). Pengosongan dalam arti ‘fana segala yang fana’ hati dan pikiran itu pun fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.
Segalanya menjadi jelas, nyata dan terbentang. Itulah ‘mukasyafah’ (pembukaan). Di situlah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa AS yang sedang pingsan, dan Gunung Thursina pun hancur berantakan. Saking nikmat dam indahnya, Musa AS. Tidak mampu untuk berbicara, mana Musa? Mana gunung? Mana Tuhan? Akhirnya seperti apa yang dikatakanoleh Syech Junaid “Hakikat Tauhid (sebanar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya, kenapa dan bagaimana.”
Dialog
Kalau Allah sudah bertajalli, maka tidak sekedar tajalli. Tetapi terjadi proses dialog antara hamba dengan Dzat Tuhan. Pembicaraan Allah dengan makhluknya disebut wahyu, untuk para Nabi dan Rasul, dan Ilham bagi manusia biasa. Ilham tidak bisa dijadikan dasar hukum, karena sifatnya sangat pribadi (perlu dirujuk kepada Al Quran dan Hadis).
Wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul ada dua macam, yaitu melalui perantaraan malaikat Jibril, yang disebut Al-Quran untuk Nabi Muhammad SAW, dan wahyu langsung ke hati Rasul, yang disebut hadis Qudsi (firman dari Allah dan redaksinya dari Rasulullah).
Sedangkan bisikan Tuhan pada hati manusia biasanya (wali), baik sebagai petunjuk atau perintah, disebut Ilham. Sifatnya pribadi, tidak untuk disiarkan pada umum. Karenanya tidak boleh diceritakan secara sembarangan, terkecuali kepada ahlinya (orang yang memahami), orang yang menggeluti dunia sufi dan memahaminya. Jika diucapkan secara sembarangan, bisa menimbulkan fitnah dan sangat membahayakan.
Allah bisa saja berbicara kepada makhluk-mahlukNya, karena bersifat Mutakalim (Yang Maha Berbicara). Jangankan kepada Nabi dan Rasul, lebah-lebah pun mendapat perintahNya. Membuat sarang dan memproduksi madu di bukit dan di hutan. Ibu Nabi Musa (Maryam) yang manusia biasa, juga diberi wahyu, yang isinya petunjuk untuk menghanyutkan bayi Musa ke sungai Nil.
Banyak kisah auliya’ (wali-wali Allah) yang berdialog dengan Allah. Salah satunya yang terkenal adalah Abu Yazid Al-Bistami. Dalam kitab Ihya’, Imam Ghazali menceritakan karomah kekasih Allah ini, yang bersumber dari Yahya bin Muadz.
Yahya berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, tolong tuan ceritakan pada saya tentang apa saja.” Lalu beliau menjawab: “ Aku ingin ceritakan padamu apa yang kira-kira baik buatmu. Aku telah Allah masukkan ke lapisan yang terbawah, lalu ia kelilingkan aku ke alam Malakut yang terbawah itu, dan Ia perlihatkan kepadaku lapisan bumi dan apa saja pada bagian bawah. Kemudian Allah angkat dan masukkan aku ke orbit yang tinggi dan Ia kelilingkan aku di ketinggian (langit) dan Ia perlihatkan padaku surga-surga dan ‘Arasy. Kemudian diletakkan aku dihadapan-Nya, seraya berkata: “Mintalah kepada-Ku apa saja, Aku akan berikan untukmu.” Aku pun berdatang sembah; “Ya Tuhanku, apapun yang aku lihat sudah cukup sudah cukup baik untukku. Lalu Ia berkata: “Hai Abu Yazid, engkaulah hamba-Ku yang benar, engkau sembah Aku hanya semata-mata karena-Ku.
Tercatat cukup banyak dialog muhadasta (antara seorang hamba yang bukan Nabi atau Rasul) dengan Allah SWT. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Buchari dikatakan: “Dari ‘Ady ibni Hatim, beliau berkata, bahwa Nabi telah bersabda: “Seseorang kamu akan bercakap-cakap dengan Allah tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendidinginya.”
Wassalam: Anugerah [Tulisan Saudara Anugerah]
(+Sumber Asal Dari Wordpress HajiriKhusyuk)

Allahu-U Ya Latiif. Allahu Ya Kabir


batin tapi ada . zahir tapi tiada
Dia bersifat Latiif tapi nampak
Dia bersifat Kabir tapi tak nampak


.

Monday 26 November 2012

Qur’an Basah dan Qur’an Kering (Tak ada yang basah & kering sebenarnya)


+ARTICLE ASAL : memakmurkan masjid
ADAPUN SAYA COPY-PASTE 100% IKUT ACUAN ASAL MEMANDANGKAN MUDAH UNTUK SAYA MENG-ACCESS
& IANYA SELARI DGN APA YG TELAH SAYA DIFAHAMKAN BERKENAAN TOPIK INI SEBELUM INI.

Penulis adalah Achmad Subianto:
Ketua Gerakan Memakmurkan Masjid, Ketua Komisi Pengawas BAZNAS 2005-2011, Penasehat ISEI Cabang Jakarta 2001-2011, Ketua Umum Fokkus, Babinrohis Pusat, Mantan bendahara DPN KORPRI 2004-2009, Mantan Ketua IV PWRI 2003-2009, Ketua Umum Federasi Perasuransian Indonesia 2003, Ketua Umum Asosiasi Jaminan Sosial dan Jaminan Sosial 2000-2008, Direktur Utama PT Taspen 2000-2008 



Tulisan Qur’an basah dan Qur’an kering ini sudah cukup lama ditulis sebagai hasil dari safari di tahun 2000 menuju Blitar mengunjungi seorang pribadi yang mengesankan. Meskipun tulisan ini telah lama namun isinya banyak mutiara hikmah yang perlu juga diketahui oleh banyak orang sebagai pembelajaran. Semoga Bapak/Ibu/Sdr pengunjung website Gerakan Memakmurkan Masjid berkenan membacanya. Terima kasih

***     ***     ***     ***     ***

Meyakini apa yang diyakini

Setelah menyampaikan ceramah dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1421 H memenuhi undangan PT Industri Kereta Api (INKA) Madiun pada hari Jum’at tanggal 9 Juni 2000 dengan tema  “Dengan Maulid Nabi Muhammad SAW Wasiatkanlah , Bacalah dan Bacakanlah Al Qur’an dan As Sunnah”.

Pada keesokan harinya Tim Kado Anak Muslim (Saya, Pak Kuswadi Kusman, Pak Ahmad Yani) berangkat ke Blitar menengok Pak Sigit Prasetyo, seorang pengusaha muda peternakan ayam yang merupakan teman Pak A Yani, yang dalam bulan Nopember-Desember 1998 telah sama-sama berkesempatan mengikuti training bantuan Pemerintah Jepang untuk industri kecil dan menengah dibidang agrobisnis di Tokyo. 

Seberapa besar penternakan yang akan kami lihat, kami tidak punya gambaran karena Pak Ahmad Yani sendiri juga belum pernah ke sana. Jadi kami dipenuhi dengan berbagai pertanyaan mengenai besarnya peternakan ayam yang akan kami tinjau.

Setelah sampai di lokasi, ternyata ini penternakan ayam berskala besar. Meliputi luas 2 ha yang setiap hari menghasilkan 12 ton telur di masa krisis ini sedangkan sebelumnya menghasilkan 20 ton. Sungguh, usaha dan upaya yang luarbiasa. Ayam-ayam ini adalah ayam petelur dan ditempatkan dalam kandang yang besar dan masing-masing ayam terdiri dari 2 ekor dimasukkan ke dalam sangkar bambu ataupun kawat dengan ukuran 1/2-1/2 m2 yang letaknya 1 ½ – 2 meter dari permukaan tanah. Beratus-ratus ayam ada disini yang diternakkan dengan sistem kering yaitu untuk masing-masing ayam disediakan minum dengan sistem mematuk sendiri. Dengan sistem ini setiap ayam akan mematuk saluran air sesuai dengan kebutuhannya sehingga lantai tidak basah tetapi tetap kering. Akibatnya kotoran ayamnya bisa dimanfaatkan untuk pupuk bagi Perusahaan jamur di Dieng. Kotoran yang ada di bawah sangkar ayam  ini bertumpuk-tumpuk sampai setinggi ½ meter sehingga seperti kotoran burung Guano di Chili(?) yang digunakan sebagai pupuk seperti yang pernah saya baca. Setelah 25 minggu sesuai umur ayam maka seluruh ayamnya diremajakan dan kotorannya baru bisa diangkat dan dibersihkan. Ayam-ayam petelur ini dijual kepada pedagang untuk dijadikan daging dan pasarnya telah tersedia. Sungguh semuanya tidak ada yang membazir dari ayamnya sampai kotorannya pun semuanya ada manfaatnya.

Setelah melihat seluruh keadaan penternakan kemudian menuju desa Jatinom tempat kediaman Pak Siswoyo, Bapak dari Pak Sigit yang merupakan perintis adanya penternakan ayam Jatinom ini. Beliau kebetulan sedang ada di rumah yang memang menunggu kedatangan kita. Biasanya siang hari seperti itu beliau ada dipenternakannya atau sedang ada di lokasi plasma yang tersebar diberbagai tempat.

Setelah melihat seluruh keadaan penternakan kemudian menuju desa Jatinom tempat kediaman Pak Siswoyo, Bapak dari Pak Sigit yang merupakan perintis adanya penternakan ayam Jatinom ini. Beliau kebetulan sedang ada di rumah yang memang menunggu kedatangan kami. Biasanya siang hari seperti itu beliau ada dipenternakannya atau sedang ada di lokasi plasma yang tersebar di pelbagai tempat.

Apa yang dikerjakan oleh Pak Siswoyo itu dikatakan oleh beliau sebagai sesuatu yang diyakininya dan itu yang dikerjakannya. Tetapi jaman sekarang menurutnya banyak orang “ yang tidak meyakini apa yang diyakininya itu ”. 

Pernyataan yang sederhana tetapi saya menangkapnya sebagai sesuatu yang teramat mendalam maknanya. Saya kemudian teringat mengenai umat Islam. Banyak dari pribadi muslim yang memang yakin bahwa agamanya adalah Islam dan  kitabnya adalah Al Qur’an namun keyakinannya  tinggal angan-angan karena keyakinan itu tidak pernah ditindak lanjuti dengan amalan yang konkrit. Bukankah itu berarti meyakini sesuatu tetapi tidak meyakini benar apa yang diyakini. Kalau seseorang merasa yakin  tentunya akan melakukan apa yang diyakininya itu. Kalau tidak dilakukan berarti tidak meyakininya. Itulah yang menurut Pak Siswoyo, merupakan phenomena yang  kebanyakan terjadi dan dialami oleh Umat Islam di Indonesia saat ini.


***     ***     ***     ***     ***

Dua Qur’an

Apa yang harus diyakini oleh setiap umat Islam menurut Pak Siswoyo adalah adanya Qur’an basah dan Qur’an kering
.*Qur’an kering adalah Kitab suci Al Qur’anul Karim yang merupakan kumpulan ayat-ayat Allah.
*Sedangkan Qur’an basah adalah yang ada disekitar kita , segala sesuatu yang ada di dunia ini. Terdiri dari Nabi Muhammad SAW, diri kita, manusia, makhluk lain, binatang dan alam lingkungan kita baik yang dapat dilihat maupun yang tidak dapat dilihat, yang dapat didengar maupun yang tidak dapat didengar, yang dapat dirasakan maupun yang tidak dapat dirasakan. 

Selaku warga alam ini kita tahu semuanya itu, namun kita tidak menganggap sebagai sesuatu yang harus menjadi perhatian dan pemahaman kita, meskipun kita tahu bahwa harus ber”iqra”. Kebanyakan dari kita selama ini tidak menganggap bahwa itu semua adalah ilmu yang harus menjadi bahan telaahan atau bahan pelajaran kita.


Qur’an Kering

Meskipun kita telah diminta untuk ” iqra” sebagaimana tertulis dalam Al Qur’an surat Al 'Alaq tetapi selaku bagian dari umat Islam dalam kenyataan hidup dan kehidupan sehari-hari kita tidak pernah benar-benar mengamalkannya. 

Banyak umat Islam yakin bahwa kitab sucinya adalah Al Qur’an tetapi sebenarnya keyakinannya itu semu atau fatamorgana. Pada kenyataannya yang terjadi, sebenarnya dia tidak benar-benar meyakininya karena kalau meyakini pasti Al Qur’an selalu dibacanya dan selanjutnya isinya akan dipatuhi untuk diikuti atau diamalkan. 

Apabila tidak diamalkan bukankah itu berarti tidak yakin apa yang diyakininya itu. Barangkali justru dia sendiri tidak memiliki Al Qur’an itu. Jikapun memiliki dia tidak bisa membaca dan mengerti artinya. Kelihatannya keyakinan umat Islampun harus diuji dari pemahaman mereka mengenai kitab sucinya. Faktanya pemahaman umat Islam mengenai kitab sucinya sangatlah rendah.


Qur’an Basah

Qur’an basah adalah semuanya yang ada di alam ini yaitu : 

  • Nabi Muhammad SAW, 
  • diri kita sendiri, 
  • manusia, 
  • makhluk lain, 
  • alam dan seisinya. 

Itu semua adalah ciptaan Allah dan dalam menciptakan tersebut Allah melakukannya dengan  sempurna dan kemudian menetapkan aturan-aturan yang berlaku atasnya sehingga semuanya akan tunduk dan patuh kepada Sang Pencipta. 

Namun pada kenyataannya baik manusia maupun Iblis atau Jin meskipun adalah ciptaan-Nya seringkali menyalahgunakan karunia atau nikmat kebebasan yang telah diberikan kepada mereka yang berakibat mereka menjadi tidak mau tunduk dan patuh kepada-Nya dan menjadi pembangkang atau kafir.

Dalam mengadakan yang ada di alam ini, Allah menciptakan dengan sempurna sebagaimana dinyatakan dalam surat Al A’laa sebagai berikut :
“Sucikanlah nama Tuhanmu, Yang Maha Tinggi yang menciptakan dan, lalu membuatnya sempurna “
( Al A’laa:87:1-2)
Hal ini harus menjadi peringatan manusia bahwa karena segala sesuatu yang ada di alam ini semuanya sempurna maka semua sistem atau prosedur yang ada di alam inipun sangat sempurna dan terukur. Oleh karena itu manusia yang diberikan tugas sebagai khalifah untuk mengelola alam ini dalam menciptakan sistem atau prosedurpun  harus menyusun atau membuatnya dengan sempurna atau “zero defect” tanpa cacat. 

Apabila itu tidak dilakukan maka akan terjadi "distortion"  atau ketidak cocokan dengan sistem yang telah tertanam di alam ini  dan nantinya dapat menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki berupa ketidak adilan, kekacauan, musibah’ kerusakan  atau kehancuran alam. 

Jadi apabila membuat suatu peraturan atau hukum janganlah dilakukan secara terburu-buru dan asal jadi karena hal itu tentunya tidak sesuai dengan sistem alam yang memang telah sempurna adanya . Ketidak cocokan  atau “ unmatch” akan menimbulkan bencana.
“ Apa saja kebaikan yang engkau peroleh adalah dari sisi Allah, dan apa saja bencana yang menimpa engkau adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri”
(An Nisaaa:4:79)
“ Telah muncul kerusakan dibumi dan dilautan akibat ulah yang telah diperbuat oleh tangan-tangan manusia sendiri, supaya mereka merasakan sebagian kecil dari hasil perbuatan mereka, mudah-mudahan mereka mau kembali “.
( Ar Ruum:30:41)
Adanya krisis atau bencana serta ketidak harmonisan yang terjadi dalam suatu negara atau wilayah dapat terjadi karena dalam menyusun sistem atau aturan tidak menyusunnya dengan sempurna. Oleh karena alam itu sempurna maka setiap aturan atau hukum yang disusun atau diterapkan oleh manusia seharusnya disusun dengan sempurna pula dan tidak dengan secara asal-asalan atau tergesa-gesa. Asal-asalan atau ketergesa-gesaan akan menyebabkan terjadinya kekeliruan dan musibah serta bencana.


Nabi Muhammad SAW

Bukankah Aisyah mengatakan bahwa kalau ingin mengetahui Al Qur’an itu maka semua ada pada pribadi Rasulullah. Sehinggga karenanya maka Nabi Muhammad itu menjadi uswathun khasanah atau contoh yang harus ditiru.
“ Bagaimana akhlaqnya Rasul ?                                                                                    Berkata Aisyah : ”Akhlaqnya seperti Al Qur’an".
Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa akhlaq manusia itupun harus merupakan isi Al Qur’an. Untuk mengikuti Al Qur’an maka setiap manusia harus mencontoh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu sebenarnya antara Al Qur’an dan As Sunnah adalah sesuatu yang satu. Kedua-duanya “mirror”. Sehingga kita tidak boleh hanya berpegang kepada Al Qur’an tanpa melihat kepada As Sunnah. Meskipun Al Qur’an adalah kitab yang menjelaskan dirinya sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Baqarah dan Al Furqaan sebagai berikut   :
“ Dalam bulan Ramadhan itu diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk untuk manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu…..”
(Al Baqarah:2:185)
“ Kami datangkan kepadamu kebenaran (Al Qur’an) dan sebaik-baik penjelasan”
(Al Furqaan:25:33)
Al Qur’an memerlukan As Sunnah dan As Sunnah memerlukan Al Qur’an. Dan As Sunnah itu merupakan bagian dari Qur’an Basah.


Diri sendiri

“ Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al Qur’an itu benar. Apakah Rabb kalian tidak cukup (bagi kalian) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Fushhsilat:41:53)
“ begitu jugalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kalian , maka telitilah’
(An Nisaa:94)
Dalam diri manusia terdapat tanda-tanda atau ayat-ayat Allah maka menjadi kewajiban manusia untuk memahami dan menelitinya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Upaya untuk mengungkap yang ada pada diri manusia merupakan pula bagian dari perintah untuk ber”Iqra”.


Manusia Lain

Manusia adalah merupakan ciptaan Allah yang paling sempurna maka dengan mengetahui anatomi dan perilaku manusia akan mendapatkan apa yang ada dalam Al Qur’an. Al Qur’an adalah petunjuk Allah SWT yang telah sempurna ketika diturunkan dimuka bumi ini. Dengan memahami diri manusia dan alam serta isinya maka kaidah-kaidah dasarnya  terdapat pula dalam Al Qur’an. Al Qur’an adalah gambaran kecil dari Qur’an besar atau Qur’an basah. Disebut dengan Qur’an basah karena yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang hidup dan selalu demikian sampai dunia ini tiada.


Makhluk lain

“ Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran dimuka bumi terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk kaum yang meyakini”
(Al Jatsiiyah:45:4)
Semua makhuk yang ada di muka planet ini termasuk binatang, tumbuh-tumbuhan merupakan pula ayat-ayat Allah yang perlu menjadi perhatian manusia untuk memahaminya.


Alam dan seisinya

Alam dan seisinya merupakan ayat-ayat Allah sebagaimana dinyatakan dalam surat Fushshilat. Ini menunjukkan bahwa alam dan seisinya merupakan pula Qur’an sesuatu yang harus di”baca” dan dipelajari oleh manusia. Allah menciptakan alam semesta ini tidaklah dengan sia-sia. Tentunya ada maksud dan tujuannya sehingga manusia diminta untuk mencari dan mempelajari apa makna itu semuanya baik dengan logika akalnya maupun berdasarkan rasa kalbunya. Mem-”baca” alam dan seisinya tentunya tidak dengan mulut tetapi mengembangkan pemahaman rasio dan rasa untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari maksud Allah menciptakannya.
“ Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al Qur’an itu benar. Apakah Rabb kalian tidak cukup (bagi kalian) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Fushhsilat:41:53)
“Dan Allah menciptakan tanda-tanda dilangit. Dan dengan bintang-bintang itu mereka mendapat petunjuk”
(An Nahl:16:16)
“ Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada diatas mereka bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan bagi langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?
(Qaaf:50:6)
“Sesunggguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di lautan membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sesungguhnya terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang beriman dan mau memikirkannya”
(Al Baqarah:2:164)
“Apakah kamu tidak melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa saja yang ada di bumi dan menundukkan bahtera-bahtera yang berlayar dilautan dengan perintah-Nya, dan Dia menahan benda benda langit jatuh kebumi melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
(Al Hajj:22:65)


***     ***     ***     ***     ***

Sekat-sekat

Senin tanggal 25 September 2000 saya ikut seminar “ Economic Growth in an Open Society Challenges and Opportunities” yang diselenggarakan oleh ISEI Jakarta dan USIS di Regent Hotel, mengetengahkan seorang jurnalis dengan bukunya yang terkenal “The Lexus and the Olive Tree” yang mendapatkan hadiah Pullitzer, Thomas L Friedman membahas mengenai globalisasi. Tom membahas globalisasi dari pengalamannya selama ini. 

Menurut dia globalisasi adalah suatu proses meruntuhkan dinding-dinding atau tembok penghalang sehingga semuanya menjadi terbuka dan “flat”. Dengan tidak adanya penghalang lagi maka komunikasi menjadi cepat. Memerlukan suatu alur yang semakin cepat . Memerlukan “speed’ dalam melaksanakan semua aktivitas sehingga diperlukan suatu jaring komunikasi yang lain dari yang selama ini kita temui. Ada 2 jalan yaitu “cold-war” atau “globalization”. 

Hanya ada satu pilihan dari 2 jalan ini. Hanya satu yang benar.

Sewaktu mendengar hal itu saya teringat dengan Al Qur’an. Saya sampaikan kepada Bapak Tjuk Sukiadi, Ketua ISEI Jawa Timur yang juga Komisaris Utama PT Jamsostek, yang duduk disebelah kiri saya, bahwa apa yang digambarkan oleh Pak Tom itu ternyata ada semuanya di Al Qur’an. Prinsip-prinsip itu ada disana. Bahwa ada sekat, ada 2 jalan dan hanya ada satu jalan yang benar.
Manusia memang akan menemui dinding-dinding atau sekat. 

Sekat atau tirai itu yang menyebabkan seorang memperoleh hidayah atau tidak. Sekat atau tirai itu yang menyebabkan kita tidak melihat bangsa Jin tetapi bangsa Jin bisa melihat kita. Sekat atau tirai itu yang menyebabkan seorang beroleh hikmah atau ilmu atau hidayah. Sekat atau tirai itu adalah penghalang bagi pendengaran, penglihatan dan hati kita. Allahlah yang dapat menghilangkan sekat-sekat itu serta diri kita sendiri. Kalau kita tidak berusaha menghilangkan sekat itu maka Allahpun tidak akan mengangkat atau menghilangkan sekat atau sumbat itu dari pendengaran, penglihatan atau hati kita.
“ Wa ‘alaa abshaarihim ghisyaawatuw”
“ … dan pada penglihatan mereka ada penutup/sekat”
(Al Baqarah:2:7)
“ Wa ja’alnaa ‘alaa quluubihim akinnatan ayyafqahuuhu wa fii aadzaanihim waqraw“
”…. Kami adakan tutupan atas hati mereka untuk (tidak dapat) memahaminya, dan pada telinga mereka ada sumbatan..”
(Al An’aam:6:25)
Manusia diberi kebebasan untuk memilih. Apakah sekat-sekat itu tetap dia biarkan menutupi panca inderanya sehingga dia tidak merasakan kehadiran cahaya Ilahi yang ada disekitarnya baik didepan, dibelakang, disamping kanan disamping kiri, diatas ataupun  dibawah. Itu semua sangat bergantung kepada masing-masing individu seberapa jauh kita sensitif terhadap hakekat diri kita, hakekat alam raya ini dan hakekat Sang Pencipta Alam dan seisinya.

Demikian pula dengan hanya ada satu jalan yang harus dipilih maka bukankah itu konsep shirathal mustaqiem. Hanya ada satu jalan yang benar yaitu jalan lurus. Sedangkan mengenai 2 jalan itu Al Qur’an pun menyatakan bahwa memang hanya ada 2 jalan bagi manusia untuk memilih yaitu jalan Tuhan atau jalan setan dan jalan baik atau jalan buruk serta jalan lurus atau jalan bengkok.
“Wa hadainaahun najdaiin”
“ Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”
(Al Balad:90:10)
“Alladziina yashudduuna ‘an sabiilillaahi wa yabghuunahaa ’iwajaw……”
“.. orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok ”
(Al A’raaf:7.45)
“ Wa haadzaa shiraathu rabbika mustaqiiman”
“ Dan inilah jalan Tuhanmu, (jalan) yang lurus..”
(Al An’aam:6:126)
Kemudian menjadi pertanyaan dalam benak saya mengapa Tom yang tidak mengerti atau membaca Qur’an itu kok tahu ada prinsip-prinsip itu. Bagaimana dia bisa tahu itu semuanya? Saya kemudian teringat pertemuan dengan Pak Siswoyo yang menjelaskan mengenai Qur’an basah dan Qur’an kering. Bukankah Allah SWT menciptakan alam ini dengan sempurna dan segala sesuatu yang  di alam ini tertulis di Lauful Mahfudz. Bukankah Al Qur’an itu semuanya berasal dari Lauful Mahfudz. Maka apa yang ditemui manusia dalam alam ini maka akan semuanya terdapat dalam Al Qur’an (Qur’an kering).


Quran Basah Quran Kering

Pantas saja Tom yang dengan tekun meneliti phenomena yang terjadi di alam khususnya mengenai globalisasi itu mendapatkan makna hakiki  yang prinsip-prinsipnya ada di Al Qur’an. Itulah kelebihan orang Barat mereka sangat tekun dan focus dalam menghadapi setiap persoalan atau “tanda-tanda” atau phenomena yang ada di alam. Oleh karena semua itu merupakan ciptaan Allah yang sempurna maka apabila dikaji dengan dalam dan dianalisa sampai ke intinya maka ujung-ujungnya akan ditemui prinsip-prinsipnya di Al Qur’an. Itulah pula yang menunjukkan nilai manusia.

Sering pula kita dengar suatu ungkapan dari orang-orang Barat kalau ingin mengetahui sesuatu muncul perkataan “ What kind of animal is that ?”. “ Itu binatang macam apa?” Keinginan tahunya dinyatakan dalam ungkapan dalam bentuk binatang kenapa bukan dengan buah-buahan atau nama tumbuhan atau nama planet? Ungkapan yang dipakai oleh orang Barat itu justru ada di Al Qur’an. Apabila kita menengok dalam Al Qur’an bukankah surat yang pertama adalah mengenai binatang yaitu Al Baqarah. Lantas bagaimana itu bisa terjadi dan nyambung ? Subhanallah!

***     ***     ***     ***     ***

Falsafah gali sumur

Kelebihan orang Barat yang berilmu adalah ketika melakukan kajian terhadap sesuatu hal tidak menyerah begitu saja sebelum sampai kepada intinya atau tuntas. Berbeda dengan orang kita baru tahu sedikit saja telah merasa puas dan menghentikan ikhtiarnya sehingga tidak sampai tuntas.

Ibarat menggali sumur. Belum dapat air yang benar-benar baik sudah berhenti. Akibatnya sebentar saja sumurnya kering karena belum sampai kepada sumber air yang merupakan intinya. Dengan mendapatkan sumber airnya maka justru tidak akan habis-habisnya menimba kemanfaatan air itu.
Atau belum-belum sudah mencari tempat galian yang lain akibatnya tidak akan memperoleh hakekat pemahaman dari sesuatu yang hakiki. Atau seperti halnya dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan karena ambisi pribadi dan nafsunya, tugasnya tidak diselesaikan dengan tuntas dan  benar namun telah mengincar dan mengerjakan tugas lain sehingga yang dikerjakan sekarangpun tidak sampai dituntaskan lalu ditinggalkan dan pindah. Hal ini berarti dia tidak berusaha mencari sumbernya.

Kelebihan orang Barat yang lain adalah setiap memperoleh sesuatu pemahaman atau pengertian lalu terus mengubernya sampai ketemu pengertian yang hakiki kemudian ditulisnya atau diwujudkannya dalam bentuk output.  Output itu bisa berujud nilai-nilai, rumus-rumus, kaidah-kaidah, ataupun makna hakiki bahkan produk. Setelah lengkap kemudian ditulis dalam suatu tulisan baik berbentuk makalah atau buku ataupun manual.

Berbeda dengan orang kita, belum sampai memperoleh kebenaran yang universal sudah berhenti dan tidak ditulisnya. Akibatnya kita terbengong-bengong melihat orang Barat menyampaikan pendapat atau pemikiran atau ide yang sebenarnya itu ada semua di Al Quran. Kita yang telah memiliki Al Qur’an yang merupakan data base informasi dari Allah SWT dan yang setiap kali membacanya justru tidak mendapatkan apa-apa dari inti pemahaman yang ada disekitar kita atau yang ditemui sehari-hari.

Ini semuanya terjadi karena kita dalam memahami ayat-ayat Allah hanya untuk dibaca saja dalam pengertian untuk konsumsi mulut. Tidak untuk konsumsi otak atau hati dalam pengertian tidak untuk dipikirkan sehingga dapat diambil sari patinya atau makna hakikinya. Selain daripada itu tidak dicoba untuk ditulisnya. Hal ini terjadi karena dalam memahami ayat juga hanya sepotong-potong tanpa mengerti dan memahami makna secara totalitas dari setiap perintah Allah.

Mari kita perhatikan ayat yang sering kita dengar dan kita baca yaitu “iqra”. Ini adalah ayat yang selalu kita pahami merupakan ayat yang pertama kali turun. Kita mengetahui bahwa ayat itu adalah perintah untuk membaca baik yang ada di Qur’an maupun yang ada di Alam ini. Memang kita diperintah untuk membaca tetapi apakah hanya membaca saja ? 

Apabila kita perhatikan lebih teliti dan tuntas membacanya maka perintah itu ternyata tidak hanya perintah untuk baca saja tetapi juga menulis. Setiap mem”baca” apa saja yang ada di alam ini kemudian “tulis”kan. Jadi setiap kali mem”baca” harus selalu ada outputnya.  Perintah Allah SWT tidak hanya sekedar baca tanpa ada makna dan tanpa ada outputnya. Outputnya itulah tulisan.
“ Iqra’ bismi rabbikal ladzii khalaq. Khalaqal insaana min ‘alaq. Iqra’ wa rabbukal akram. Alladzii ‘allama bil qalam ” 
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajari (manusia) dengan perantaraan kalam”
(Al Alaq:96:1-4)
Allah mengajari manusia untuk membaca dengan perantaran Kalam atau pena atau tulisan. Ini mempunyai makna bahwa dalam membaca maka kita dianjurkan untuk menuliskan yang kita baca. Dalam membaca tidak sekedar membaca tetapi harus diterakan dalam bentuk tulisan.


***     ***     ***     ***     ***

Tiga Qur’an

Sebenarnya kita tidak hanya mengenal 2 jenis Qur’an tetapi tiga Qur’an. Tiga jenis Qur’an itu adalah 

  • Qur’an basah, 
  • Qur’an kering dan 
  • yang ketiga Qur’an cahaya. 

Dua jenis Qur’an yang telah kita pahami : Qur’an basah dan Qur’an yang kering itu semuanya ada di alam ini sedangkan jenis Qur’an yang ketiga adanya di langit  di samping Allah SWT. Qur’an cahaya itulah  Qur’an Lauh Mahfuzh.
“ .. ia adalah Al Qur’an yang mulia, yang tersimpan ditempat yang terjaga (Lauhul Mahfuz)”
(Al Buruuj:85:21-22)
Segala sesuatu yang ada di Qur’an basah dan Qur’an kering semuanya terangkum dalam Qur’an Induk di Lauh Mahfudz.
“… dan tidak sesuatu yang basah dan yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh mahfudzh)”
(Al An’am:6:59)
“ Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata(Lauh Mahfudz)”
(Huud:11:6)
“ Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisiNyalah terdapat Ummul Kitab(Lauh Mahfudz)”
(Ar Ra’d:13:39)
“ Apakah kalian tidak mengetahui bahwasanya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi. Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”
( Hajj:22:70)
“…… Tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada(pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata(Lauh Mahfudz)”
(Saba:34:3)
“ Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfudz)”
(Yaasiin:36:12)
“ Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya”
( Al Hadiid:57:22)


***     ***     ***     ***     ***

Al Qur’an dan isi dunia tercatat di Lauhul Mahfudz

“ Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang ada didaratan dan di lautan dan tidak sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata(Lauh Mahfudz)”
(Al An’aam:6:59)
“ Tiada sesuatu pun yang ghaib di langit dan bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata”
(An Naml:27:75)
“ Sebenarnya Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzalim”
(Al Ankabut:29:49)
“Dan sesunggunya Al Qur’an itu dalam induk Al Kitab Lauh Mahfudz disisi Kami adalah benar-benar tinggi nilainya dan amat banyak mengandung hikmah”
( Az Zukhruf:43:4)
“ … sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semsta alam”
( Al Waaqi’ah:56:77-80)
Mengapa bagi mereka yang memikirkan ayat-ayat Allah yang ada di alam ini sesudah melakukan penelitian yang mendalam sampai mencapai intinya maka karyanya itu pasti akan ada korelasinya dengan yang ada didalam Al Qur’an? Perhatikan ayat berikut ini :
“ Sebenarnya Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu “
( Al Ankabut:29:49)
Jadi bagi mereka yang berilmu meskipun bukan seorang beragama tauhid maka dalam dadanya telah ada ayat-ayat Al Qur’an tanpa dia sadari. Allah SWT telah menempatkan ayat-ayat Al Qur’an di setiap dada makhluknya yang berilmu meskipun dia bukan seorang muslim. 

Ini membuktikan bahwa Al Qur’an itu sangat dekat bagi orang-orang yang berilmu. Bagi orang seperti Tom, Bob dan lain-lainnya yang mau menggunakan akal dan pikirannya untuk memahami ayat-ayat Allah yang ada dalam Qur’an basah maka akan diperoleh makna hakiki yang akan sama dengan yang ada di Kitab Suci Al Qur’an. 

Jadi sebenarnya disetiap dada orang yang berilmu telah disediakan “tool” oleh Allah untuk memahami ayat-ayat yang ada di alam ini. Tool yang ada dalam dada manusia itu kalau kemudian dipergunakan untuk mem”baca” Qur’an basah maka akan ketemu dengan kaedah-kaedah atau rumus-rumus serta makna-makna hakiki. Jadinya “nyambung”. Ikhtiar manusia untuk meneliti atau melakukan pengkajian terhadap alam dan seisinya ini akan menentukan ketinggian nilai atau kualitas  manusia tersebut. Maka bagi mereka yang enggan untuk berikhtiar maka akan mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan yang mau berikhtiar.
“ Nilai manusia ditentukan oleh amalnya”
(Al An’aam:6:132), (At Taubah:9:105),(Al Israa:17:84
)
Disayangkan memang kaum muslimin yang dekat dan memiliki Al Qur’an justru dia tidak menjadikan dirinya menjadi orang-orang yang berilmu sehingga dadanya bisa terisi dengan Al Qur’an. Padahal perintah Allah jelas sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Baqarah ayat 221  :
“ Dan Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”
(Al Baqarah:2:221)
Makna mengambil pelajaran adalah berarti untuk dipelajari dan diteliti serta mengambil contoh atau dicontoh.
Al Qur’an oleh umat Islam selama ini ditempatkan salah tempat atau salah posisi hanya di mulut tidak didada dimana bersemayam  kalbunya. Ini menjelaskan bahwa Al Qur’an harus lebih banyak dipahami dengan kalbu manusia. Itu hanya akan nampak apabila kita memanfaatkan akal dan pikiran kita dengan selalu berikhtiar. Pantas Allah sangat murka kalau kita tidak menggunakan otak kita.
“…. dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”.
(Yunus:10:100)
Ini berarti bahwa Allah memang sangat konsisten bahwa manusia harus berilmu. Bahkan untuk itu perlu diberikan ancaman agar manusia mau menggunakan dan memanfaatkan kalbunya untuk mengerti ayat-ayat-Nya.
“ Siapa saja yang tidak mau mengingat aku (untuk mengikuti ajaran Allah) maka sesungguhnya baginya akan mendapatkan kehidupan yang sempit(menderita). Dan Kami kumpulkan di hari kiamat nanti dalam keadaan buta.
(Orang tersebut bertanya)” Ya Tuhanku, mengapa Engkau mengumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dulu (sewaktu di dunia) aku bisa melihat?’
Itulah (akibatnya) ketika Aku memberikan ayat-ayatku (Al Qur’an, kamu melupakannya. Oleh karena itu Akupun melupakan kamu”
(Thahaa:20:123-124)
Bagi Umat Islam melupakan atau tidak peduli terhadap Qur’an basah maupun Qur’an kering mempunyai konsekwensi yang sangat berat tidak hanya didunia bahkan di akherat karena Allah juga tidak akan mempedulikannya. Nanti di hari akhir dia akan dibangkitkan dalam keadaan buta sebagaimana dinyatakan dalam surat Thaha diatas. Ayat diatas tentunya harus menyentuh kalbu setiap insan muslimin karena akan menguji keyakinannya mengingat konsekwensi yang akan diterima tidak sekaramg tetapi di hari kemudian. Keyakinan akan hari kemudian sangat menyentuh relung yang terdalam dari hati manusia.
“ Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”
(Mujaadilah:58:11)
Bagi mereka yang berilmu, Allah menjanjikan dengan diberikan derajat yang lebih  tinggi daripada yang tidak berilmu. Demikian pula tentunya bagi yang ilmunya lebih tinggi tentunya akan lebih tinggi derajatnya dengan yang berilmu sedang-sedang saja.
“ Katakanlah :’ Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? ‘Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima penjelasan “
(Az Zumar:39:9)
“ Dia menjelaskan tanda-tanda kepada orang yang mau mengetahui”
(Yunus:10:5)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia akan menjelaskan tanda-tanda kepada mereka yang mau mempelajari dan mengetahuinya. Disini tidak dipersyaratkan apakah dia muslim ataupun non muslim. Jadi terpulang kepada umat Islam sendiri bahwa kalau dia mau mengetahui dan mau melakukan penelitian dan pengkajian maka Allah akan memberitahu tanda-tandanya . 

Tetapi kalau umat Islam malas dan berlaku masa bodoh serta cepat berpuas diri maka dia tentu akan mendapatkan akibatnya. Akan tertinggal jauh dengan mereka yang non muslim. Allah tidak mempersyaratkan bahwa hanya mereka yang muslim saja yang dapat mengetahui rahasia alam semesta dan seisinya ini! Syaratnya adalah bahwa dia ada kemauan dan mau bersusah payah untuk mencoba mengetahuinya dengan melakukan pengkajian dan penelitian secara serius dan focus.

Oleh karena itu setiap orang muslim berkewajiban menyiapkan baik bagi dirinya, isteri dan anak-anaknya menjadi orang-orang yang berilmu. Dan itu merupakan suatu keharusan *).  Dengan menjadi orang yang berilmu maka kita akan dapat memahami ayat-ayat Allah dan kehendak-Nya dalam menghadirkan kita didunia dan mengenai makna hidup serta kehidupan ini.
“ Sesungguhnya dalam AlQur’an itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman”
(Al Ankabut:29:51)
Ada penyebutan lain mengenai 3 Qur’an ini yaitu Qur’an INDUK, Qur’an BESAR dan Qur’an KECIL. Qur’an Induk adalah Qur’an Lauful Mahfudz, Qur’an BESARnya adalah Qur’an basah serta Qur’an KECIL adalah  Al Qur’anul Karim.

*) Sewaktu melakukan studi banding ke negara tetangga Malaysia di bulan Septembr 2001, saya melihat begitu hebatnya Pemerintah Malaysia dalam rangka upaya mencerdaskan bangsanya melalui peningkatan kemampuan lembaga pendidikannya. Kemudian sejak Juli 2000 melalui Lembaga Dana Pensiun dikeluarkan kebijaksanaan memberikan kemudahan bagi setiap warganegaranya untuk memiliki komputer pribadi dengan memberikan Computerloan atau pinjaman. Ini bisa dibayangkan bagaimana kemampuan Sumberdaya manusia Malaysia sepuluh tahun dari sekarang.
Ya Allah, terima kasih atas pemahaman ini.
Jakarta, 20 Desember 2000
ACHMAD SUBIANTO

.